Oneplus.web.id - JAKARTA — Persidangan perkara Nomor 321/PTUN.JKT kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan agenda pemeriksaan alat bukti. Namun jalannya sidang jauh dari sekadar formalitas. Tim kuasa hukum H. Moerdjoko dan Ir. Tono Suhariyanto menegaskan bahwa gugatan ini bukan persoalan konflik internal organisasi, melainkan menyangkut legalitas keputusan administrasi negara yang dinilai cacat prosedur.
Salah satu kuasa hukum penggugat, Ardian Azhari Kurniawan, S.H., menyampaikan bahwa pokok sengketa berawal dari pencabutan status badan hukum PSHT yang oleh pihak tertentu diumumkan telah efektif berlaku sejak 1 Juli 2025. Menurut penggugat, pencabutan tersebut dilakukan tanpa prosedur yang benar, antara lain tanpa pemberitahuan resmi, tanpa kesempatan pengajuan keberatan, serta tanpa pemeriksaan material atas legalitas badan hukum yang sebelumnya sah dan diakui negara.
"Kami tidak bicara siapa menang atau siapa berkuasa dalam organisasi. Ini murni soal negara mengeluarkan keputusan administrasi yang wajib sah secara hukum. Jika ada kekeliruan, maka harus diluruskan,” tegas salah satu kuasa hukum Moerdjoko di luar persidangan.
Sidang sempat tertunda lantaran adanya kekeliruan teknis dalam proses pengunggahan bukti oleh pihak penggugat. Majelis hakim kemudian memberikan kesempatan untuk memperbaiki unggahan tersebut. Meski demikian, tim kuasa hukum menekankan bahwa penundaan teknis tidak mempengaruhi inti persoalan.
Menurut mereka, fokus gugatan tetap pada aspek prosedural dan material dari keputusan pencabutan badan hukum, yang dianggap telah merugikan hak-hak hukum kliennya.
Masuknya Pihak Intervensi Menegaskan Sengketa Belum Tuntas
Pihak intervensi—yang merupakan kelompok PSHT versi lain—sebelumnya menyampaikan kepada media bahwa pencabutan badan hukum telah berlaku sejak 1 Juli 2025. Bagi tim Moerdjoko, pernyataan tersebut justru mempertegas bahwa sengketa administratif masih berlangsung, sehingga pemeriksaan di PTUN menjadi sangat krusial.
Penggugat menilai, bila memang pencabutan dilakukan secara sah, maka harus tersedia bukti lengkap berupa surat keputusan, dokumen administratif, dan proses verifikasi sesuai ketentuan perundang-undangan. Jika tidak, keputusan itu harus dibatalkan.
Penggugat juga menyoroti berkembangnya narasi publik yang mencoba mereduksi kasus ini menjadi sekadar gesekan internal atau spekulasi pihak tertentu yang disebut berada “di balik kegaduhan PSHT”. Kuasa hukum menilai narasi tersebut justru menyesatkan dan mengaburkan fokus utama bahwa yang diuji PTUN adalah legalitas keputusan pejabat tata usaha negara, bukan konflik internal organisasi.
"Membiarkan kesalahan administrasi berlanjut sama saja dengan melegalkan ketidakadilan resmi. Kami menempuh jalur hukum untuk memastikan negara menjalankan aturan secara objektif dan tidak diskriminatif,” tegas kuasa hukum.
Pengadilan akan melanjutkan pemeriksaan setelah penggugat menyempurnakan pengunggahan alat bukti sesuai arahan majelis hakim. Di balik dinamika persidangan, satu hal tetap menjadi fokus utama: apakah pencabutan badan hukum PSHT telah memenuhi ketentuan administrasi negara.
Jika terbukti tidak memenuhi syarat dan tidak melalui proses yang sah, maka keputusan tersebut berpotensi dibatalkan demi menjaga prinsip kepastian hukum dan keadilan administrasi.
(Tim)



0 Komentar