Jakarta - oneplus.web.id - Kontroversi seputar ijazah pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat setelah muncul kabar bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar alumni SMA Santo Yosef, Solo. Temuan ini memantik perdebatan publik yang lebih luas dan bahkan menyeret isu serius berupa wacana pemakzulan.
Aktivis Indonesia, Raden Hernawan, menilai keabsahan ijazah seorang wakil kepala negara merupakan persoalan fundamental. “Jika benar terdapat kejanggalan, maka hal itu dapat menjadi pintu masuk untuk menguji legitimasi politik maupun konstitusional negara,” ujarnya.
Akar Persoalan: Data Alumni yang Dipersoalkan
Isu ini bermula dari beredarnya dokumen internal yang disebut-sebut sebagai daftar alumni SMA Santo Yosef Solo. Dalam dokumen itu, nama Gibran tidak tercantum. Publik pun mempertanyakan: apakah hal ini sekadar kekeliruan administratif atau justru menyangkut keaslian ijazah? Pihak sekolah melalui kepala SMA Santo Yosef Solo menyatakan siap memberikan keterangan resmi, bahkan menjadi saksi dalam sidang gugatan ijazah wakil presiden yang kini tengah berjalan. Hingga berita ini diturunkan, kubu Gibran belum memberikan pernyataan terbuka.
Reaksi Politik dan Wacana Pemakzulan
Kontroversi ini dengan cepat merambah ke ranah politik. Tokoh-tokoh oposisi menegaskan bahwa polemik ijazah tidak bisa dianggap sepele. Jika terbukti ada pemalsuan dokumen pendidikan, maka Pasal 7A UUD 1945 dapat dijadikan rujukan, karena memuat dasar pemakzulan presiden dan wakil presiden apabila terbukti melakukan “pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela”.
Prosedur pemakzulan sendiri diatur lebih lanjut dalam Pasal 7B UUD 1945, yakni melalui usulan DPR, pemeriksaan Mahkamah Konstitusi, hingga pengambilan keputusan di MPR.Namun, pihak pendukung pemerintah menilai isu ini hanya manuver politik. Mereka menyebut tuduhan tersebut tidak berdasar dan berpotensi menimbulkan fitnah yang bisa merusak stabilitas politik nasional.
Tuntutan Transparansi Publik
Terlepas dari tarik-menarik politik, suara publik semakin jelas: mereka menginginkan transparansi. Masyarakat mendesak klarifikasi resmi baik dari pihak sekolah maupun instansi terkait agar isu ini tidak berkembang liar menjadi spekulasi yang berpotensi menggerus kepercayaan terhadap lembaga kepresidenan.
Raden Hernawan menegaskan, penyelesaian persoalan ini hanya bisa ditempuh melalui jalur hukum dan mekanisme konstitusional. “Kalau memang ada dugaan pemalsuan, buktinya harus diuji di pengadilan. Dari situ baru bisa dipertimbangkan apakah relevan dengan mekanisme pemakzulan,” tegasnya.
Antara Fakta dan Persepsi
Hingga kini, kontroversi ijazah Gibran masih berada di persimpangan antara fakta, persepsi, dan kepentingan politik. Publik menanti jawaban tegas agar isu ini tidak terus menjadi bola liar yang dapat merusak stabilitas demokrasi sekaligus kepercayaan terhadap institusi kepresidenan.
(Reden Hernawan)



0 Komentar