Jakarta - oneplus.web.id - Raden Hernawan, Aktivis Indonesia, mendesak Pemerintah bersama DPR RI Komisi II untuk segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian. Tuntutan publik terhadap perubahan ini semakin kuat setelah rentetan kasus pelanggaran etik, dugaan penyalahgunaan wewenang, hingga praktik mafia hukum yang kian meruntuhkan kepercayaan masyarakat.
Dalam konferensi pers, Raden Hernawan menegaskan:
“Sampai kapan reformasi Polri hanya sebatas wacana, bukan aksi nyata?”
Harapan yang Tak Kunjung Terwujud
Sejak resmi dipisahkan dari TNI pada tahun 2000 berdasarkan TAP MPR No. VI/2000, Polri diharapkan menjadi lembaga sipil modern, profesional, dan akuntabel. Pemisahan itu dimaksudkan agar kepolisian tidak lagi menjadi alat kekuasaan militer, melainkan fokus pada fungsi pelayanan, perlindungan, dan penegakan hukum.
Namun, setelah lebih dari dua dekade, ekspektasi itu belum juga terwujud. Polri tetap menjadi institusi dengan kewenangan besar, tetapi minim mekanisme kontrol yang efektif.
“Problem utama Polri adalah lemahnya transparansi. Anggaran besar tidak diimbangi laporan kinerja terbuka. Dalam penanganan perkara, publik sering menyaksikan inkonsistensi: tegas kepada yang lemah, kompromistis pada yang berkuasa. Inilah yang menimbulkan persepsi diskriminasi hukum,” ujar Hernawan.
Ia menambahkan, “Reformasi Polri harus menegaskan kembali bahwa polisi bukan alat kekuasaan, melainkan pelayan masyarakat.”
Budaya Kekuasaan dan Resistensi Perubahan
Hambatan besar reformasi Polri bukan hanya soal regulasi, melainkan kultur internal. Struktur komando yang kaku, budaya feodal atasan-bawahan, hingga praktik jual beli jabatan masih menjadi penyakit lama.
“Situasi ini memperlemah profesionalisme. Ketika jabatan bisa diperjualbelikan, integritas menjadi barang langka,” tegasnya.
Jalan Terjal Reformasi
Menurut Hernawan, reformasi Polri harus menyentuh akar persoalan, bukan sekadar memperbaiki citra. Beberapa langkah mendesak yang perlu ditempuh antara lain:
Perbaikan regulasi: merevisi UU Polri agar kewenangan tidak disalahgunakan.
Pengawasan eksternal: memperkuat Kompolnas dan lembaga sipil independen.
Transformasi kultur: mengubah paradigma polisi dari alat represif menjadi pelayan humanis.
Digitalisasi layanan: menutup celah pungli dan mempercepat pelayanan publik.
Wacana Kembalikan Polri ke Kemendagri
Isu pengembalian Polri di bawah Kemendagri sejatinya bukan hal baru. Pada awal reformasi 1999–2000, pernah berkembang gagasan agar Polri berada di bawah kementerian sipil, bukan langsung di bawah Presiden. Alasannya, untuk memperkuat mekanisme kontrol politik dan mencegah konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada institusi kepolisian.
Namun, wacana tersebut tenggelam setelah keputusan menempatkan Polri langsung di bawah Presiden dianggap lebih sesuai dengan semangat reformasi kala itu. Dua puluh tahun berselang, berbagai persoalan yang muncul membuat gagasan lama ini kembali relevan.
Reformasi atau Krisis Legitimasi?
Hernawan mengingatkan, reformasi Polri kini bukan lagi pilihan teknis, melainkan pertaruhan demokrasi. Jika Polri gagal berubah, krisis legitimasi akan semakin dalam. Sebaliknya, keberanian melakukan reformasi akan mengembalikan kepercayaan publik dan memperkuat negara hukum.
“Publik tidak lagi cukup dengan jargon Presisi atau slogan manis Polri. Masyarakat menagih bukti nyata bahwa Polri bisa menjadi institusi yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat,” pungkas Hernawan.
(Tim)



0 Komentar