OnePlusWeb.id –9 November 2025. Di tanah Sunda tempo dulu, saat kabut masih sering turun menutupi kaki Gunung Gede, hiduplah seorang putri cantik jelita bernama Nyai Larasantang. Ia adalah putri kesayangan Prabu Siliwangi, raja besar Kerajaan Pajajaran yang terkenal gagah dan bijaksana.
Dari kecil, Larasantang tumbuh di istana megah penuh kemewahan. Namun, di balik senyum lembutnya, tersembunyi rasa hampa di hatinya. Meski hidup dikelilingi keindahan dan kekuasaan, Larasantang sering termenung di tepi taman istana, memandang langit sambil bertanya dalam hati: “Siapakah Sang Pencipta
Suatu hari, datanglah kabar tentang seorang pendakwah dari negeri jauh di arah matahari terbit. Pendakwah itu mengajarkan tentang satu Tuhan yang Esa, tentang cinta kasih dan kebenaran. Hati Larasantang bergetar mendengar ajaran itu. Ia merasa seolah menemukan cahaya yang selama ini dicari.
Namun keputusan untuk mencari kebenaran bukan hal mudah. Larasantang harus berani menentang tradisi istana dan keyakinan lama yang dijaga turun-temurun. Bersama kakaknya, Raden Kian Santang, ia akhirnya meninggalkan istana Pajajaran. Mereka berdua berlayar menembus samudra luas, menuju Tanah Suci untuk mencari ilmu dan kedamaian batin.
Dalam perjalanannya ke Mekkah, Larasantang belajar banyak tentang Islam dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Di sana pula ia bersyahadat dan mengganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Ia menikah dengan seorang ulama keturunan Arab bernama Sayyid Usman, yang masih memiliki garis keturunan dari Rasulullah SAW.
Dari pernikahan suci itulah lahir keturunan yang kelak menjadi ulama besar di Nusantara, termasuk Sunan Gunung Jati, penyebar Islam di Cirebon yang sangat dihormati hingga kini.
Setelah menimba ilmu di tanah suci, Nyai Larasantang kembali ke tanah kelahirannya. Namun kali ini, ia bukan lagi putri istana yang haus kemewahan, melainkan perempuan bijak pembawa cahaya iman. Dengan kelembutan dan tutur kata yang menenangkan, ia berdakwah kepada rakyat Sunda tentang nilai-nilai kasih, kebaikan, dan ketauhidan.
Masyarakat mencintainya bukan karena darah birunya, tetapi karena ketulusan hatinya. Banyak perempuan Sunda kala itu yang belajar kepadanya — belajar menjadi perempuan kuat, lembut, dan beriman.
Hingga akhir hayatnya, Nyai Larasantang menetap di wilayah Gunung Jati, Cirebon. Di sanalah ia dimakamkan, tak jauh dari makam Sunan Gunung Jati, keturunannya yang meneruskan perjuangan dakwah Islam.
Masyarakat setempat hingga kini masih mengenang nama Nyai Larasantang dengan penuh hormat. Setiap tahun, peziarah datang membawa doa, bukan untuk meminta sesuatu, tetapi untuk mengenang sosok perempuan agung yang telah mengubah wajah spiritual tanah Sunda.
Legenda Nyai Larasantang bukan sekadar cerita lama yang diselimuti kabut sejarah. Ia adalah kisah tentang perempuan yang berani melangkah melampaui batas, mencari kebenaran meski harus meninggalkan segalanya.
Dari sosoknya, kita belajar bahwa cahaya kebenaran akan selalu menemukan jalannya — bahkan melalui langkah lembut seorang putri yang berani menantang zaman.
Nyai Larasantang tetap hidup dalam hati masyarakat Sunda, sebagai simbol perempuan cerdas, lembut, dan penuh keberanian. Kisahnya akan selalu bergaung di setiap cerita rakyat, di setiap doa malam, dan di setiap hati yang mencari cahaya kebenaran.
Reina





0 Komentar