Iklan

header ads

Roiy Suya Diap Laporkan Balik Pengacara Jokowi Tentang Izazah Palsu


OnePlusWeb. Id — Jakarta 28 November 2925
Setelah menjadi tersangka dalam kasus dugaan “ijazah palsuJoko Widodo, Roy Suryo kini menuntut agar penyidikan dilakukan lebih transparan dan ilmiah — termasuk dengan memeriksa ijazah asli jika diperlukan. Di tengah kontroversi, Roy juga tak menutup kemungkinan akan mengajukan pelaporan balik jika ditemukan bukti pemalsuan dokumen bukti.


Sejak Juli 2025, tudingan bahwa ijazah Almamater Presiden ke-7 adalah palsu memicu gelombang protes, opini publik, dan proses hukum. Sejumlah pihak menyuarakan keraguan, sementara penyidik sempat menetapkan delapan orang sebagai tersangka, termasuk Roy Suryo. Tuduhan terhadap mereka meliputi fitnah, pencemaran nama baik, hingga dugaan manipulasi data.


Meski demikian, hingga tahap ini — menurut kuasa hukum Roy — ijazah asli belum pernah diperlihatkan publik atau diserahkan sebagai bukti independen. Yang beredar hanyalah salinan atau dokumen digital, yang menurut Roy berpotensi telah disunting atau direkayasa


Dalam pernyataan resmi, tim hukum Roy Suryo — dipimpin oleh pengacara — menegaskan bahwa perkara dokumen penting seperti ijazah harus ditangani dengan prosedur ekstra:

“Salinan tanpa verifikasi forensik sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran untuk tuduhan serius,” tegas mereka.

Mereka menuntut penyidik untuk menggelar “perkara khusus” — yakni memanggil ahli dokumen, membandingkan dengan arsip institusi terkait (kampus penerbit ijazah), dan melakukan uji keaslian fisik ijazah jika memungkinkan. Jika penyidikan tetap bersandar pada salinan digital semata, mereka khawatir akan muncul “putusan prematur” tanpa kepastian hukum.

Pendekatan seperti ini, menurut Roy cs, bukan soal memperlambat proses hukum, melainkan memastikan asas keadilan dan akurasi — terutama karena identitas dan reputasi yang dipertaruhkan sangat besar.


Lebih jauh, Roy menyinggung kemungkinan mengajukan laporan balik terhadap pihak-pihak yang menyediakan salinan bukti, apabila nanti terbukti bahwa dokumen itu adalah hasil pemalsuan atau manipulasi.

Jika laporan balik diterima dan penyidik menemukan bukti bahwa salinan telah dipalsukan — bukan sekadar dokumen sah yang kebetulan datang dalam bentuk digital — maka posisi hukum bisa berubah dramatik: dari tersangka dugaan fitnah menjadi korban pemalsuan dokumen.

Langkah semacam ini tidak hanya soal membela diri — tapi menegakkan prinsip bahwa setiap bukti yang diajukan di muka hukum harus sah, akurat, dan dapat diverifikasi.


Banyak kasus di Indonesia (dan dunia) yang terjerat akibat dokumen palsu, salinan yang direkayasa, atau bukti dokumen yang mudah diedit secara digital. Dalam konteks ini, kasus ijazah Joko Widodo bisa menjadi preseden penting:

  • Bila penyidik mau dan terbuka melakukan verifikasi forensik — termasuk audit ijazah di institusi penerbit — maka standar pembuktian dokumen publik bisa diperkuat.
  • Sebaliknya, jika hanya mengandalkan salinan digital atau dokumen tanpa verifikasi, maka terbuka peluang untuk penyalahgunaan: fitnah, manipulasi politik, atau konflik identitas.

Dengan demikian, permintaan Roy bukan sekadar strategi hukum — tapi juga upaya mendorong transparansi sistemik, untuk menjaga kredibilitas pendidikan, dokumen publik, dan kepercayaan masyarakat pada institusi.


Tentu saja, gagasan “perkara khusus” ini menghadapi beberapa tantangan:

  • Institusi penerbit ijazah mungkin sudah tidak menyimpan arsip lama, atau identitas penerbit sulit diverifikasi.
  • Waktu dan biaya pemeriksaan forensik bisa besar — sedangkan tekanan publik dan politik menuntut penyelesaian cepat.
  • Publik dan media mungkin melihat upaya ini sebagai cara untuk “mengulur waktu” atau mengaburkan bukti.

Namun, bagi Roy dan timnya, itu harga kecil dibanding harga keadilan dan reputasi:

“Lebih baik lambat tapi benar, daripada cepat tapi penuh keraguan,” ujar pihak tim hukum.

Dari Tuduhan ke Proses — Menegakkan Prinsip Hukum

Kasus ijazah Presiden bukan lagi sekadar soal apakah dokumen itu asli atau palsu. Ia telah berkembang menjadi isu sistemik — soal bagaimana negara memverifikasi kelayakan dokumen penting, bagaimana proses hukum harus berjalan agar adil, dan bagaimana publik menuntut transparansi.

Dengan mendesak penyelidikan ulang, verifikasi forensik, dan membuka kemungkinan pelaporan balik, Roy Suryo dan timnya menantang status quo: bahwa tuduhan bisa dilayangkan berdasarkan salinan — sebuah praktik yang bisa berbahaya jika tidak dilakukan dengan cermat.

Jika penyidik mau menerima tantangan itu, hasilnya bisa menjadi tolok ukur baru bagi penanganan kasus dokumen dan kredibilitas pendidikan di Indonesia. Bukan hanya untuk satu individu, tapi untuk sistem — dan kepercayaan publik.


Reina 


Posting Komentar

0 Komentar