OnePLUS web. Id —15 November 2025 Perkara hukum yang menimpa dua pendidik di Luwu Utara masih mencuri perhatian publik. Di tengah diskusi nasional mengenai batas antara niat sosial dan konsekuensi hukum, nama jaksa Andi Fickariaz Tabriah turut mencuat sebagai bagian dari rangkaian proses penegakan hukum yang menuntun kasus ini hingga ke meja persidangan.
Kasus ini bermula dari kebijakan iuran sukarela yang digagas oleh Rasnal dan Abdul Muis, dua guru di Luwu Utara. Iuran Rp 20.000 per murid itu dimaksudkan untuk membantu guru honorer yang tidak menerima gaji selama berbulan-bulan. Kebijakan yang lahir dari kebutuhan mendesak ini kemudian berujung pada laporan hukum dan membuka perjalanan panjang yang tak terduga.
Di tengah proses penyidikan dan penuntutan, nama Andi Fickariaz Tabriah hadir sebagai representasi aparat penegak hukum yang menjalankan tugas institusional. Ia dikenal sebagai jaksa yang tegas dalam menjalankan prinsip legalitas—bahwa pungutan di lingkungan sekolah tetap harus melalui mekanisme resmi, meskipun motifnya sosial.
Keterlibatan jaksa dalam perkara ini memperlihatkan bagaimana sistem bekerja: bahwa ada garis batas yang harus dijaga antara kebijakan internal sekolah dan aturan hukum yang lebih tinggi.
Putusan terhadap Rasnal dan Abdul Muis memicu reaksi luas. Organisasi guru, anggota DPRD, hingga komunitas pendidikan menyuarakan kritik, menilai keadaan sosial di sekolah seharusnya menjadi pertimbangan lebih mendalam. Di sisi lain, sebagian pihak memandang langkah kejaksaan sebagai bagian dari upaya menjaga tata kelola keuangan sekolah agar tetap transparan.
Kasus ini kemudian menarik perhatian Presiden hingga akhirnya dilakukan rehabilitasi terhadap kedua guru tersebut, menandai fase baru dalam perjalanan panjang masalah ini.
Dalam perspektif publik, sosok seperti Andi Fickariaz menjadi figur yang menampilkan sisi dilematis profesi penegak hukum: menegakkan aturan di satu sisi, namun berhadapan dengan realitas kemanusiaan di sisi lain. Perkara ini memperlihatkan bahwa hukum dan empati sering berjalan berdampingan namun tidak selalu mudah selaras.
Peristiwa Luwu Utara membuka ruang refleksi bagi sekolah di seluruh Indonesia:
- Kebijakan berbasis solidaritas sekalipun perlu mekanisme formal.
- Guru, komite, dan orang tua harus berada dalam satu pemahaman yang legal dan administratif.
- Penegakan hukum tidak hanya soal proses, tetapi bagaimana sistem memberi kepastian dan keadila
Kasus dua guru Luwu Utara dan sorotan terhadap peran jaksa Andi Fickariaz menjadi mosaik rumit tentang bagaimana hukum, pendidikan, dan kemanusiaan saling bertemu. Bagi publik, kisah ini adalah pengingat bahwa niat baik perlu perlindungan aturan—dan bagi aparat, penegakan hukum selalu berjalan berdampingan dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat.
Reina



0 Komentar