OnePkus web.id ,Solo 19November 2025 .Keraton Surakarta sedang bergejolak, tetapi gejolak itu kini bukan hanya bersumber dari dalam keluarga besar keraton. Ada bayangan baru yang mulai menutupi persoalan: langkah pemerintah kota yang semakin terlihat masuk terlalu jauh ke ruang-ruang yang bukan miliknya.
Wali Kota Solo boleh berulang kali menyampaikan bahwa ia tidak ikut campur. Tetapi masyarakat Solo bukan penonton yang buta. Mereka melihat siapa yang datang, siapa yang difasilitasi, siapa yang didukung, dan siapa yang dilibatkan.
Dan dalam konteks keraton, setiap gestur itu punya makna.
Setiap pemimpin daerah punya kepentingan terhadap kelestarian budaya. Itu normal.
Namun ketika pemerintah kota mulai hadir dalam momen-momen sensitif—di saat keraton sedang menghadapi konflik legitimasi, perselisihan adat, hingga persoalan internal—kehadiran itu bukannya memberi ketenangan, justru menimbulkan kecurigaan.
Apalagi ketika langkah-langkah pemerintah kota dilakukan di tengah keraton yang belum satu suara.
Itu sama saja seperti menuangkan minyak ke api kecil yang sedang dipaksa padam.
Revitalisasi tidak bisa menjadi dalih untuk menembus ruang-ruang yang selama berabad-abad diatur oleh adat, bukan oleh kepentingan politik luar.
Jika pemerintah kota ingin terlihat netral, maka langkah-langkah yang diambil tidak seharusnya membuat publik merasa ada satu pihak yang mendapat ruang lebih istimewa.
Namun yang terlihat di lapangan justru sebaliknya.
Gestur, pertemuan, hingga narasi yang muncul justru membuat publik menilai Wali Kota Solo seakan ingin “mengatur ritme permainan” di dalam keraton.
Dan ketika persepsi itu muncul, kepercayaan publik otomatis runtuh.
Keraton bukan pion politik yang bisa dipindah-pindahkan sesuai kepentingan.
Keraton adalah simbol. Simbol ini tidak boleh diperlakukan seperti proyek APBD atau aset kota.
Ia punya tata krama, garis keturunan, dan kehormatan yang tidak bisa diputuskan oleh rapat-rapat teknis pemerintah kota.
Di mata masyarakat, hadirnya sepak terjang pemerintah kota justru menimbulkan kesan arogan:
- Seakan-akan pemerintah kota tahu yang terbaik.
- Seakan-akan keraton tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
- Seakan-akan konflik bisa diatur dengan cara modern yang sering kali tidak memahami inti persoalan budaya.
Ini bukan tentang membangun dinding, memperbaiki joglo, atau merapikan kompleks keraton.
Ini tentang nilai, martabat, dan sejarah.
Dan sejarah tidak bisa dibangun di atas ambisi politik.
Jika pemerintah kota benar ingin membantu, langkah paling bijak bukan masuk lebih dalam—tetapi justru mundur.
Berikan ruang bagi keluarga keraton menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Berikan kesempatan bagi lembaga adat menjalankan fungsinya.
Saat pemerintah kota terlalu dominan, keraton kehilangan wibawa.
Saat keraton kehilangan wibawa, budaya Solo kehilangan jantungnya.
Dan saat budaya kehilangan jantungnya, kota ini tak lagi punya ruh.
Inilah waktunya Wali Kota Solo memahami batas:
Melindungi bukan berarti menguasai.
Membangun bukan berarti mencampuri.
Membantu bukan berarti mengambil alih.
Jika pemerintah kota terus melangkah seperti sekarang, konflik keraton bukan hanya tidak akan selesai—tetapi justru akan meninggalkan luka baru: hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang seharusnya menjaga, bukan mendominasi.
Reina



0 Komentar